identitas kebudayaan tionghoa;.doc
Identitas kebudayaan Tionghoa;Kebijaksanaan Suharto dan keberhasilanya mencapai Pembauran Lengkap By Erin Kite ACICIS Studi Lapangan MalangUniversitas Muhammadiyah MalangSemester 19, September December 2004Kata PengantarSaya ingin mengucapkan terima kasih kepada Universitas Muhamadiyah, Pak Habib (Pembimbing saya), Pak Tom dan program ACICIS atas semua bantuan, nasihat, dan dorongannya. Terima kasih lagi kepada semuanya untuk menyediakan kesempatan dalam penyelengaraan Studi Lapangan ini.Terima kasih khususnya kepada David Hodgkin atas nasihatnya yang berharga dan berguna. Dan juga atas kesabarannya. Akhirnya terima kasih sangat banyak kepada teman akrab saya, Ferry Tan dan keluarganya atas kemurahan hati, bantuan, dan persahabatannya. Laporan ini menjadi lebih bermakna dikarenakan oleh keterlibatannya.Thank you to my family and friends in Australia because without your love and support nothing is possible for me.Erin KiteMahasiswi ACICIS,7th January 2005.AbstrakPenjelasan singkat tentang:Apa yang ditelitiPenelitian yang saya telah lakukan, dimaksudkan untuk mencari tahu bagaimana masyarakat Tionghoa di Indonesia merasa dan memahami identitas mereka, khususnya identitas kebudayaan yang berasal dari keturunan Tionghoanya.Hal-hal yang harus diperhatikan oleh kita dalm penelitian ini adalah pemeriksaan tentang hukum-hukum yang dibuat selama periode pemerintahan Suharto, yaitu Orde Baru. Penelitian tentang identitas kebudayaan Tionghoa di Indonesia akan selalu berkaitan dengan hukum-hukum tersebut di atas karena selama 30 tahun silam, hukum hukum ini sudah mengatur keberadaan identitas masyarakat Tionghoa dengan mengatur adanya penyelengaraan aspek-aspek yang paling penting untuk kebudayaan Tionghoa. Penelitian harus mengikut sertakan sebuah penafsiran mengenai kondisi social dan bersejarah yang bercokol pada zaman dan periode yang terjadi sebelum Orde Baru, berserta pembauran hukum hukum tersebut sehingga timbul pemahaman tentang dasaran yang tidak resmi untuk hukum-hukum sejenis ini. Akibatnya, informasi ini akan membantu si peneliti mengerti pemikiran yang menjadi dasaran resmi, yang menjelaskan penciptaan hukum-hukum ini., yaitu untuk mendorong pembauran lengkap terhadap masyarakat Tionghoa di dalam masyarakat Indonesia yang lain sekitarnya. Pembauran lengkap punya arti tertentu untuk pemerintahan Suharto. Artinya adalah bahwa semua hubungan, termasuk kaitan kebudayaan, social, dan politik seharusnya dihapuskan. Hukum-hukum ini termasuk pelarangan pemakaikn bahasa Tionghoa apapun, baik yang ditulis maupun yang diucapkan, serta penggunaannya sebagai bahasa pengajaran di sekolah-sekolah di Indonesia. Juga ada hukum-hukum yang melarang dan menolak agama-agama yang kebanyakan penganutnya adalah orang-orang Tionghoa, yaitu, Kong Hu Chu, serta melarang adanya tempat untuk mereka beribadah. Konsep diselenggarakannya penelitian iniDi mana?Masyarakat Keturunan Tionghoa di Malang, sebuah kota yang terletak di Jawa Timur berdekatan dengan Surabaya. Masyarakat Tionghoa Malang akan digunakan sebagai Studi Kasus atau perwakilan dari seluruh masyarakat Keturunan Tionghoa di Indonesia. Siapa?Ada perwakilan dari beberapa kelompok berdasarkan pada usia, pekerjaan, dan agama dari masyarakat keturunan Tionghoa di Malang. Amat disayangkan bahwa sebagian besar dari Koresponden ini merupakan 80% dari semua koresponden angket. Ini karena murid-murid tersebut adalah koresponden yang paling bersemangat dan mau bekerjasama dalam mengisi dan mengembalikan angket-angket saya. MetodeMetode kuantitatif termasuk penciptaan dan penyebaran angket yang diberikan kepada 60 koresponden, sedangkan metode kualitatif termasuk penggunaan wawancara, pengamatan dan partisipasi lengkap. Angket ini meliputi pertanyaan yang kualitatif dan juga pertanyaa yang kuantitatif. Pertanyaan yang kuantitatif mewajibkan para koresponden untuk memilih satu nomor antara satu sampai sepuluh untuk memperlihatkan pendapatnya tentang pertanyaan tertentu. Pertanyaan yang kualitatif mewajibkan mereka untuk menjelaskan pilihan dari pertanyaan kuantitatif, beserta pendapat mereka tentang beberapa topik tertentu. Wawancara juga saya gunakan untuk memperjelas hasil akhir dari angket, atau menanyakan kembali pertanyaan yang timbul dari hasil angket.Pengamatan dan partisipasi lengkap, yaitu berinteraksi dengan teman saya yang berketurunan Tionghoa adalah metode terakhir yang saya pakai. Kesimpulan yang timbul dari penelitian iniApakah saya berpendapat bahwa hukum-hukum Suharto mencapai tujuannya (yaitu pembauran lengkap) ?Hukum-hukum dari Orde Baru yang tersebut di atas mencapai keberhasilan yang terbatas, yaitu kemampuan berbehasa Tionghoa antara kelompok usia 15 sampai 19 tahun amat berkurang, dan banyak orang Tionghoa sudah berpindah agama menjadi penganut Kristen atau Katolik. Akan tetapi, walau ketidakmampuan dan perubahan sesugguhnya tercipta oleh adanya hukum-hukum tersebut, hukum ini tidak mengurangi kekuatan identitas Tionghoa antara masyarakat keturunan Tionghoa di Malang. Ini bisa dilihat dari hasil angket yang memperlihatkan bahwa kebanyakan koresponden (walaupun tidak banyak) masih merasa lebih seperti seorang Tionghoa daripada seorang Indonesia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tertentu. Ada beberapa alasan yang menjelaskan situasi tersebut. Yang pertama adalah bahwa hukum-hukum ini mencoba memaksa Tiohgoa untuk membaur; sesuatu yang tidak bisa dipaksa. Yang kedua adalah bahwa hukum-hukum tersebut memeliki tujuan yang bertolak belakang. Misalnya adanya peraturan yang melarang penyelengaraan kebudayaan Tionghoa sehingga mendorong pembauran, tetapi pada sisi yang lain ada hukum yang mengidentifikasi seorang sebagai seorang Tionghoa, terpisah dari kependudukan lain di Indonesia. Akibatnya, hukum-hukum ini tidak mencapai tujuan yang sebenarnya, yaitu pembauran lengkap, seperti yang didefinisikan pemerintah Suharto. Akan tetapi jikalau pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menginginkan adanya pembauran antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Indonesia yang lain, mereka hendaknya memusatkan pada usaha untuk memperbaiki hubungan antara dua kelompok ini, bukannya mencoba untuk men-indonesia-kan masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia. Pendahuluan Salah satu alasan mengapa saya tertarik dengan topik ini karena selama di Universitas saya telah mempelajari sejarah dan kehidupan diaspora Tionghoa yang tersebar Asia Tenggara, termasuk yang berada di Indonesia dan Australia. Pada tahun 1999 yang merupakan tahun terakhir saya di SMU di Sydney, saya melakukan penelitian mengenai komunitas Australia-Tionghoa. Oleh karena itu, saya sangat tertarik untuk melakukan penelitian yang membandingkan antara keturunan Tionghoa Indonesia dan keturunan Tionghoa di Sydney. Dan menurut saya pribadi, akan sangat menarik untuk melakukan penelitian terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia, karena saya pribadi adalah keturunan Tionghoa yang hidup di negara lain, yaitu Australia. Berdasarkan penelitian saya sebelumnya di tahun 1999, saya memahami bahwa akan ada perbedaan latar belakang dan sejarah keturunan Tionghoa yang hidup di Indonesia dan di Australia. Namun saya merasa bahwa mereka berasal dari nenek moyang yang sama. Tujuan dari penelitian ini bukanlah untuk mendiskusikan mengenai kerusuhan yang terjadi Mei 1998 ataupun mengenai G30S/PKI (Gerakan tigapuluh September). Bukan pula mengenai anggapan dan sikap masyarakat pribumi terhadap keturunan Tionghoa ataupun sebaliknya, karena sudah banyak penelitian penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai hal ini. Termasuk buku buku ciptaan para peneliti yang jauh lebih terinci membahas masalah ini. Oleh karena itu, saya tidak ingin membahas hal yang sama atau memperbaiki apa yang sudah pernah dibuat. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa setiap kali topik pembicaraan yang bersangkutan dengan masyarakat Tionghoa dan identitasnya, seringkali berakhir dengan diskusi politik. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat peka terhadap topik tersebut. Sebagai contoh pada awal penelitian di saat saya belum mempersiapkan pertanyaan pertanyaan yang pasti, beberapa orang selalu terbawa untuk membicarakan aspek politik dari masalah ini. Seperti contoh di atas atau perbedaan perlakuan yang diterima oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Sangat sukar bagi saya untuk menghindari hal tersebut selama melakukan penelitian ini. Faktor lain yang menghubungkan keturunan Tionghoa dengan masalah politik di indonesia adalah, undang undang yang diciptakan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatur identitas dan kebudayaan keturunan Tionghoa selalu berhubungan dengan politik pemerintahan. Salah satu contohnya adalah keputusan untuk melarang diselenggarakannya adat istiadat Tionghoa di Indonesia. Walaupun sikap pemerintah sedikit demi sedikit berubah dalam penerapan undang-undang ini tetap saja, selama periode lama undang-undang tersebut dipakai untuk menghilangkan adanya perbedaan kebudayaan antara pribumi dan Tionghoa. Dan hal ini menyebabkan hilangnya identitas asli orang Tionghoa di Indonesia tanpa pembicaraan undang-undang tersebut di atas. Kesimpulannya, saya akhirnya menentukan untuk mengikut sertakan topik tersebut di atas dalam penelitian saya. Namun demikian, dalam penelitian ini saya tidak akan mendukung pihak manapun, saya hanya akan menggunakan faktor-faktor yang ada untuk menemukan sumber dari permasalahan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat lebih lanjut apakah undang-undang tersebut di atas dapat mencapai tujuannya, yaitu pembauran masyarakat Tionghoa dan masyarakat Pribumi secara menyeluruh. Menurut saya, dengan memilih keturunan Tionghoa di Malang sebagai Studi Kasus, saya dapat menggunakan cara lain untuk mengetahui apakah keturunan Tionghoa di Indonesia masih merasa terkait dengan latar belakang dan kebudayaan asli mereka di Tiongkok. Karena berdasarkan pendapat kelompok tersebut di atas, saya akan mendapat kesimpulan mengenai berhasil atau tidaknya kebijaksanaan yang dibuat dalam undang-undang tersebut. Hal-hal yang ingin saya ketahui adalah sebagai berikut; apakah kebanyakan Masyarakat Tionghoa sudah merasa seperti satu bangsa dengan masyarakat Pribumi, dan apakah mereka masih memiliki hubungan yang kuat dengan kebudayaan Tionghoa, dan yang terakhir apakah ada hasil dari dibuatnya kebijakan dan undang undang tersebut di atas. Berdasarkan pada keterangan di atas penelitian ini akan dibagi tiga bagian yaitu: 1. Sejarah yang mendasari hubungan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Pribumi, termasuk alasan dan sebab akibat timbulnya kebijaksanaan dan penciptaan undang undang selama Orde Baru. 2. Pemikiran dan diskusi di antara keturunan Tionghoa terhadap kebijaksanaan tersebut, dan mencari tahu sejauh mana keberhasilannya telah dicapai (menurut hasil angket wawncara dan observasi). 3. Implikasi dan saran saran untuk masa depan. Keturunan Tionghoa di Malang dan di seluruh Indonesia pada umumnya tidak berasal dari satu kelompok yang sama, mereka memiliki kebiasaan dan kehidupan yang berbeda beda. Akan tetapi, sangatlah jelas bahwa kebanyakan dari mereka menetujui seharusnya adanya pembauran antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Pribumi. Namun arti dari membaur atau pembauran bagi mereka sangatlah berbeda dengan apa yang digunakan oleh pemerintah di masa lalu. Metode:Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut di atas, saya memutuskan untuk menggunakan metode yang bermacam macam, yaitu dengan cara kualitatif dan kuantitatif. Cara kuantitatif yang saya pakai adalah penggunaan angket-angket atau kuesioner. Angket ini disebarkan ke seluruh masyarakat Tionghoa di Malang, termasuk di sekolah sekolah SMA yaitu Santo Yusuf dan Santo Albertus yang dikenal sebagai Dempo. Dan Juga di Klenteng Eng An Kiong, dan gereja Katolik di Malang. Dari 80 angket yang disebarkan, 60 dikembalikan dan yang amatlah disayangkan, kebanyakan dari koresponden ini adalah pelajar pelajar SMA yaitu 80% dari koresponden. Ini karena mereka adalah koresponden yang paling bersemangat dan mau kerjasama dalam mengisi dan mengembalikan angket angket saya. Angket saya termasuk pertanyaan yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Pertanyaan yang kuantitatif mewajibkan koresponden memilih satu nomor dari satu sampai sepuluh untuk menperlihatkan pendapatnya tentang beberapa topik. Pertanyaan yang kualitatif meminta koresponden memberikan penjelasan mengenai pilihnya dari pertanyaan kuantitatif dan juga pendapatnya tentang pertanyaan yang lebih kompleks. Misalnya, masalah-masalah yang harus dikurangi untuk memperbaiki hubungan antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Pribumi. Menurut saya dengan memakai angket atau pengumpulan data data akan sangat berguna karena hasil dari angket dapat menunjukkan garis besar permasalahan. Cara kualitatif yang saya gunakan adalah wawancara, pengamatan dan partisipasi lengkap. Data-data yang dikumpulkan dengan angket dibantu oleh beberapa wawancara yang bisa menjelaskan lebih lanjut pola dari hasil yang didapatkan dari angket. Pengumpulan data-data ini nantinya akan memberi kesimpulan mengenai berhasil atau tidaknya undang-undang tersebut di atas. Namun tidaklah cukup hanya dengan mengumpulkan data-data umum, oleh karena itu perlu dilakukan beberapa wawancara dengan anggota masyarakat Tionghoa dari kelompok usia yang berbeda. Selain itu wawancara, saya dapat menanyakan lebih jauh mengenai masalah-masalah yang lebih rumit. Saya mewawancarai lima orang menggunakan cara formal dan informal. Pada awal studi lapangan saya, dua orang dari Klenteng di Malang melakukan perbincangan informal dengan saya tentang beberapa topik yang membantu saya merumuskan masalah penelitian saya. Setelah saya berhasil menerima semua angket yang saya sebarkan, tiga orang telah saya wawancarai; dua orang berusia 50 tahun atau lebih tua, dan satu orang yang berusia 20an. Dengan lelaki muda, saya melakukan percakapan formal dan menggunakan pembicaraan ini untuk memperjelas beberapa pertanyaan yang berasal dari angket angket saya. Pada sisi lain, dua orang yang saya wawancarai dari Klenteng bercakap-cakap dengan saya dalam cara yang informal dan saya meminta mereka untuk memberikan pendapatanya tentant topik-topik yang sama dari angket. Saya menentukan mewawancarai orang ini karena ada hanya 4 orang dari 60 koresponden yang berusia 50 tahun atau lebih. Pengamatan dan partisipasi lengkap memakan waktu paling lama, yaitu, dengan seorang teman yang saya kenal di Malang, yang adalah keturunan Tionghoa. Dari mengamati interaksi dan kelakuannya dan keluarganya, saya bisa mendapat informasi yang berharga yang tidak bisa didapat memakai angket atau wawancara. Ini juga salah satu cara mencari ta